“Itu semua atas izin Allah. Saya tidak ada apa-apanya. Kalau saya tidak ketemu Dhompet Dhuafa, saya juga tak akan bisa seperti ini,” kata Nasrudin, saat ditemui Alhikmah di sela diskusi "Pemberdayaan Desa", Selasa (4/5/2010), merendah.
Dalam kesehariannya, Nasrudin banyak mengajarkan masalah perikanan, terutama lele kepada orang-orang sekitar. Ia bahkan menjadi mentor bagi peternak ikan di 28 provinsi di Indonesia. Kemahirannya dalam beternak ikan telah diakui oleh banyak pihak.
“Pernah ada orang yang datang kepada saya, Orang cacat. Ingin belajar beternak ikan, saya ajarkan segala kemampuan saya padanya. Alhamdulillah setelah satu tahun ia bisa mandiri. Omzetnya pun mendekati 20 juta rupiah per bulan. Dari pihak akademisi pun banyak yang datang. Mahasiswa IPB sudah tak asing lagi berkunjung ke rumah saya. Orang asing seperti, Qatar dan Jepang pun berdatangan,” ungkapnya.
Menurutnya, hal tersebut bisa terjadi, sebab Nasrudin mengajarkan ilmunya secara langsung.
“Kebanyakan orang mengajarkan sesuatu itu di dalam ruangan atau balik meja. Saya langsung di lapangan. Turun ke kolam, mengail ikan dan lain-lain,” katanya.
“Buku saya adalah terpal. Langit adalah tempat menulisnya dan air merupakan tintanya,” tegas Nasrudin.
Selama ini Nasrudin hidup dengan kesederhanaan. Walaupun keuntungan dapat diraih dengan melimpah kehidupannya tidak mau berubah.
“Bagi saya, kemewahan adalah bisa tidur nyenyak, berkumpul dengan saudara, dan mempunyai iman pada Allah SWT,” katanya.
Ketika disinggung tentang harapan ke depan soal perikanan, Nasrudin berkata; “Seluruh masyarakat Indonesia, khususnya umat muslim, mempunyai potensi yang tiada terkira. Pemerintah yang mempunyai kewenangan dalam berbagai kebijakannya, seharusnya jangan memberikan modal berupa materi saja. Akan tetapi, ilmu dan keterampilanlah yang paling penting. Menurut saya, program seperti BLT itu seharusnya dihapuskan. Lebih baik diubah dengan pelatihan-pelatihan yang mendukung masyarakat.”
Begitulah Nasrudin, peternak lele Sangkuriang yang masih teguh memegang prinsip kesederhanaan. Baginya pangkat dan harta berada pada nomor sekian kehidupannya.
“Saya lebih memilih ilmu dan itu harus diamalkan. Toh, saya sudah punya pangkat Letkol. Letnan kolam maksudnya,” pungkas Nasrudin sambil tertawa renyah.